Sabtu, 19 November 2011

PERAN ORANGTUAN MENGEMBANGKAN MORAL ANAK UMR 6-12 TAHUN


BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

            Minat psikologi pada perkembangan moral pada awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuian pribadi dan sosial. ”Secara bertahap minat psikologi bergeser ke arah perkembangan moral – kepola yang normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat diharapkan bersikap sesuia dengan cara yang disetujui masyarakat”(Elizaberh B. Hurlock, 1978: 74 ). Budaya sangat mempengaruhi perkembangan manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari terutama perkembangan moral anak yang merupakan penerus bangsa yang selanjutnya. Yang sangat menonjol sekali adalah  perkembangan moral yang mana menurut Kolhberg menyatakan ”adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan” (Sunarto dan B. Agung Hartono, 2006 :176). ”Nilai- nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat istiadat dan sopan santun” ( Sunarto dan B. Agung Hartono, 2006 : 168). Tindakan moral harus rasional dan untuk menjadi rasional maka alasannya musti operatif, tidak semata-mata rasionalisasi. Singkat kata, ”seseorang harus bertindak sebagai makhluk moral” ( Cheppy HC, 1988 : 12).
            Dalam kehidupan sehari-hari moral ini harus dilaksanakan supaya perkembangan moral anak itu berjalan dengan lancar dan diterima dalam berhubungan sosial. Prof. Darji Darmodiharjo ( Dalam Bambang Daroeso, 1986 : 125) ”mengajar” adalah satu isi dari pendidikan yang terdiri dari : 1) mendidik, 2) mengajar dan 3) melatih. ”Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anak hendak menjamin segala kebutuhannya, baik fisik maupun psikis dan sosial” ( Zakiah Daradjat, 1977 : 21). Sehingga si anak merasa aman, tentram dan hidup tanpa kecewa. ”Orang tua menjadi pendidik pertama dan utama pada masa kanak-kanak” ( Zahara Idris dan Lisma Jamal, 1992 :35). Dengan orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga diharapkan moral anak menjadi lebih baik sehingga perilaku menyimpang tidak mempengaruhi perkembangan moral anak. ”Fungsi ibu sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga” ( Sahlan Syafei, 2002: 119). Dengan ibu sebagai pendidik anak dalam keluarga berguna dalam mendukung perkembangan dalam diri anak, yaitu sifat-sifat altruistik, kesadaran tentang diri sendiri dan orang tua.Menurut Havighurst (Dalam Elida, 2005:144), tugas perkembangan anak usia sekolah (6 - 12 tahun) antara lain adalah :
1. Belajar bergaul dan bekerja sama dalam kelompok sebaya
2. Mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung
3. Mengembangkan konsep-konsep penting dalam kehidupan sehari-hari
4. Mengembangkan hati nurani, moralitas, dan system nilai sebagai pedoman perilaku
5. Belajar menjadi pribadi yang mandiri
            Pada masa ini, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
            Dengan penjelasan dari atas maka saya tertarik dalam memgangkat makalah dengan judul ” Peran Orang Tua Dalam Mengembangkan Moral Anak-Anak Usia 6-12 Tahun”

  1. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Hakekat moral
2. Pengertian moral.
3. Ciri-ciri khas perkembangan anak usia 6-12 tahun
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak
5. Usaha-usaha orang tua mengembangkan moral anak

  1. TUJUAN MASALAH
            Tujuan makalah ini dibuat adalah agar kita dapat mengetahui peran orang tua dalam mengembangkan moral anak, sehingga orang tua bisa memberikan layanan-layanan yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak.
            Selain itu makalah ini dibuat melengkapi tugas pada mata kuliah Dasar Logika dan Penulisan Ilmiah.
 
  1. BATASAN MASALAH
            Agar tulisan ini tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan maka penulis hanya membahas tentang peran orang tua dalam mengembangkan moral anak dan faktor-faktor yamg mempengaruhi moral anak.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Hakekat moral

            Secara estimologi kata ”moral”berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara,adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores”. Dalam arti adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani ”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan arti ”kesusilaan”. . ( Bambang Daroeso, 1989:22). Dalam
 Kamus Umum Bahasa Indonesia, disusun oleh W.J.S Purwadarminta, kata ”moral” berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan ( akhlak, kewajban, dsb.), sedangkan ”Moral” atau kesusilaan ” adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia.. (Bambang Daroeso, 1989:22). Jadi dari kesimpulan yang para ahli kemukakan bahwa moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Manusia yang memiliki moral dalam kehidupannya dihargai orang karena nilia budi luhur yang ada dalam dirinya sehingga merasa dekat atau senang berada berhubungan dengan dia.
            A study originally made in 1923 and repeated in 1953 shows the changes in ideas of right and wrong with age and also with the passage of two decades.(L,Pressey and A.W. Jones. 1955)halaman 532. Menurut Flavell, ”seharusnya anak umur tujuh tahun atau delapan tahun telah memiliki  keterampilan role taking yang sempurna”( Elida Prayitno, 2005:175 ).  Menurut Surakhmad (dalam Sunarto dan B.Agung Hartono, 2006:168 ) menyatakan:
Dengan perkembangan anak tujuh atau delapan tahun kemampuan role taking lebih tinggi, karena altruistik yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan dibandingkan tingkah laku altruistik anak yang tingkah laku role taking –nya rendah ajaran pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi positif yang tinggi
.
Hal ini disebabkan pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. “This last point is further emphasized by another study that shows no relation between moral knowledge and moral behavior”(D.McRae.dalam Lawrence E. Shapiro,1997:530 ). Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala sesuatu mengungkapkan bahwa penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak(Elida Prayitno, 2005:175 ). Wila Huky B.A. mengatakan : kita memahami moral dengan tiga cara:
a.       Moral sebagai tingkah aku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam ligkungannya.
b.      Moral sebgai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam linkungan tertentu.
c.       Moral adalah ajaran tentang tigkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu (Bambang Daroeso, 1989:22).

  1. Pengertian moral

            Santrock dan Yusen ( Dalam Elida dan Erlamsyah, 2002:97 ) mengemukakan bahwa ”moral adalah kebiasaan atau aturan yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam berintegrasi dengan orang lain, seperangkat aturan yang menyangkut baik atau buruk pantas atau tidak yang harus dilakukan dalam kehidupan sosial” ( Elida dan Erlamsyah, 2002:97 ). Kolhberg dan Piaget ( Dalam Elida, 2005:97 ) mengemukakan bahwa ”moral itu meliputi tiga pengertian yang berbeda satu sama lain yaitu pandangan moral, tingkah laku moral, dan perasaan moral”. Pandangan moral yaitu pendapat atau pertimbangan seseorang, tingkah laku moral adalah tindakan yang sesuai dengan aturan, dan perasaan moral adalah perasaan yang timbul pada diri individu setelah ia menganbil bertingkah laku bermoral atau tidak. Menurut E. Hurlock perilaku moral itu ada 3 ( tiga ) yaitu :
1) Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. ”Moral” berasal dari kata Latin mores, yang berarti tatacara, kbiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral – peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. 2) Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku demikian tidak disebabkan ketidakacuhan akan harapan sosial melainkan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. 3) Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kolompok. Beberapa di antara perilaku salah anak kecil lebih bersifat amoral daripada tak bermoral.( Elizabeth B. Hurlock, 1978:74 )


Just two thirds of the pupils showed a slidding scale of morality by condoning stealing under at least one and often several such circumstances as these:
1.      Steiling from a corporation,not an individual.
2.      Stealing from either corporation or individual who would never notice the loss.
3.      Stealing whatever careless people had left lying around.
4.      Stealing from people who are strangers or members of a despired racial or social group .
5.      Stealing things of low intrinsic value.
6.      Stealing from members of the family.
7.      Stealing that is never detected.
8.      Stealing from a person whom you dislike or who has been disagreeable to you (Lawrence E. Shapiro,1997:529).
”Perkembangan moral erat kaitannya dengan perkembangan kognitif” ( Piaget dalam Elida dan Erlamsyah, 2002: 99 ). Moral seseorang erat kaitannya dengan cara berpikirnya. Perkembangan moral berlangsung melalui proses latihan dan peniruan ( Badura dalam Elida dan Erlamsyah, 2002:98 ). ”Perkembangan moral anak melalui peniruan tingkah laku orang yang dilihat disekitarnya dan proses peniruan ini dengan cara mengamati tingkah laku orang dewasa atau model yang berada disekitarnya”( Elida dan Erlamsyah, 2002:99 ). Keberhasilan perkembangan moral berarti dimiliki emosi dan perilaku yang mencerminkan kepedulian akan orang lain: saling berbagi, bantu-membantu, saling menumbuhkan, saling mengasihi, tenggang rasa, dan kesediaan mematuhi aturan-aturan masyarakat agar menjadi manusia bermoral
(Lawrence E. Shapiro, 1997:46). William Damon, seorang professor di Brown Universitas, yang dianggap salah satu pakar terkemuka Amerika dalam perkembangan moral anak- anak dam remaja, menyatakan bahwa anak-anak harus mendapatkan keterampilan emosional dan sosial sebagai berikut:

1.      Mereka harus mengikuti dan memahami perbedaan antara perilaku yang “baik” dan yang “buruk” dan mengembangkan kebiasaan dalam hal perbuatan yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap “baik”.
2.      Mereka harus mengembangkan kepedulian, perhatian, dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak- hak orang lain, yang diungkapkan melalui sikap peduli, dermawan, ramah, dan pemaaf.
3.      Mereka harus merasakan reaksi emosi negatif seperti malu, bersalah, marah, takut, dan rendah bila melanggar aturan moral (Lawrence E. Shapiro, 1997:46)

       



  1. Ciri-ciri khas Perkembangan anak usia 6-12 tahun

Pada  umur 6-12 tahun anak biasanya menunjukan ciri-ciri khas sebagai berikut:

1. Anak sudah memiliki sikap agresi

            Sagner (Dalam Elida, 2005: 130) ” tingkah laku agresif yaitu tingkah laku yang cenderung menyakiti orang lain, binatang atau objek”. Tingkah laku agresif bermacam-macam misalnya memukul, berbicara kasar dan tindakan menyerang. Tingkah agresif pada anak cenderung dalam penyarangan fisik. ”Agresif banyak ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu melalui model, pemberian hukuman, ganjaran dan perasaan kecewa”      ( Elida, 2005: 132 ). ”Anak melakukan perilaku agresif berdasarkan hal yang sering dilihatnya lalu mereka mengidentifikasi diri sama seperti model yang dilihatnnya”                ( Fanzoi, 2000:13 ).
            Tingkah laku individu diperoleh dari hasil balajar melalui pengamatan (observasitas) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh model yang dijadikan sebagai model. ”Anak akan menyimpang tingkah laku yang diamati didalam ingatan lalu ia coba untuk mengungkap ulang tingkah laku model yang dialaminya itu” (E. Koeswara, 1988:41).
            Bandura (Dalam E.Koeswara, 1988:42) menyimpulkan bahwa ”agresif bisa dipelajari dan terbentuk dalam individu hanya dengan cara maniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang disenangi”. Motivasi anak untuk mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model memiliki daya tarik yang kuat serta memberikan pengaruh yang menyenagkan bagi diri.


2. Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar
            Anak sering mengajukan berbagai pertanyaan dan meneliti objek.

3. Periode aktif produktif.

4. Suka meimitasi model yang disukainya
            Imitasi merupakan proses peniruan, ingin sama dengan individu yang disenangi. Imitasi ini merupakan salah satu mekanisme yang membentuk perilaku anak. ”Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain dan melakukan apa yang dilihatnya” (Chen, 1996:12). ”Anak lebih meniru orang dewasa yang disukainya sebagai model” (Fanzoi, 2000:14)
            ”Melalui proses imtasi anak menumjukan perilaku agresif” (Fanzoi, 2000:13). ”Anak tidak melakukan imitasi sembarangan, mereka lebih sering meniru orang-orang tertentu yang berkuasa, penting atau idola dan memiliki kemiripan yang sama dengan dirinya” ( Fanzoi, 2000:14). Dan anak bisa meimitasi apa yang dilihatnya ditelevisi dan tayangan yang disukai apabila yang memiliki nasip atau kemiripan dengan nya, semakin besar tingkat kemiripan anak dengan model maka semakin besar perilaku imitasi dan agresi  yang ditampilkan anakn ( Fanzoi, 2000:32). ”Karakter anak yang masih labil maka akan lebih mudah untuk melakukan imitasi” (Abu Said, 2005:31).

5. Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkrit

            Fanzoi(2000:34) mengemukan bahwa berdasarkan ”hasil eksperimen yang diperoleh ternyata cuplikan film  sepanjang tujuh menit, bisa menimbulkan pengaruh beberapa jam”. ”Menonton tayangan telivisi mampu membuat orang mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi walaupun sekali tayang, dan bisa mengingat 85% dari apa yang mereka lihat dari televisi setelah tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari kemudian” (Abu Said, 2005:16).
  
6. Perkembangan moral dari heteronom ke otonom

            Perkembangan moral anak yang berumur 6-7 tahun yaitu perkembangan moral heteronom maksudnya adalah baik buruk segala sesuatu dilihatnya berdasarkan hasil akibat yang dihasilkan. Sedangkan anak yang berumur 8-12 tahun sedang perkembangan moral otonom yang melihat baik buruk sesuatu berdasarkan maksud dan tujuan orang bertingkah laku. Menurut Piaget (Dalam Elida dan Erlamsyah, 2002;100)
”Pada umur 5-7 tahun cara berpikir anak perkembangan berpikir konkrit taraf satu”. Anak memahami tingkah laku baik benarnya tergantung apakah tingkah laku itu memuaskan dan menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri atauorang lain (hedonisme). Dan pada anak berumur 8-12 tahun perkembangan moralnya yaitu insrumental dan hedonisme dan tahap berpikir kognitif tahap dua.   


  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi moral anak

            Menurut para ahli psikonalisa disamping faktor-faktor kognitif, faktor lingkungan sosial sangat penting artinya bagi perkembangan moral anak. Anak menjadikan orang tua dan orand dewasa lainnya sebagai model atau membelajarkan mereka langsung mengenai moral. Pembelajaran anak tentang moral adalah melalui disiplin yang dilakukan orang tua  terhadap anak.
1. Orang Tua atau Guru sebagai model.

            Menurut teori psikonalisa ”moralitas atau kesusilaan adalah bagian dari kata hati atau superego seseorang” ( Sarlito W, 1976:18). Superego terbentuk pada anak karena mengidentifikasikan orang tua yang sejenis kelamin. Ini berarti hilingnya sifat ”Oedipus Complex”
            Menurut Freud ( Dalam Mudjiran, 2000:93) ”baik pria atau wanita meniru tingkah laku orang tua yang sejenis kelamin sama adalah karena keinginan untuk menjadi seperti  orang tua”. ”Anak laki-laki seperti ayah dan anak perempuan ingin seperti ibunya. Peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak diterima” demikian Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93). Selanjutnya Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93)  mengemukakan bahwa seorang anak meniru seluruh  atau sebagain aspek-aspek tingkah laku orang tua mereka yang berikut, yaitu:
a.        Keseluruhan tingkah laku
b.      Motivasi
c.       Aspirasi

            Aspek-aspek tingkah laku yang ditiru dari orang tua dipadukan atau diuji dengan kenyataan yang berada dalam lingkungan, sehingga terjadilah indetifikasi analitik yang hasilnya identifikasi tingkah laku yang diperoleh. 

2. Disiplin yang dilakukan Orang Tua.

Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110), ”mencoba mengetahui hubungan antara perkembangan moral anak dengan disiplin orang tua”. Temuan penelitian mereka menyimpulkan bahwa orang tua yang mempergunakan teknik disiplin cenderung menyebabkan perkembangan moral anak sangat baik, sedangkan penggunaan disiplin berkuasa atau otoriter cenderung menyebabkan perkembangan moral anak yang lemah.
Hal ini disebabkan penggunaan teknik induksi menyebabkan meningkatkan kemampuan kognitif yang berpengaruh besar terhadap pemahaman moral. Keaaaan ini tidak terjadi jika digunakan teknik disiplin yang lain seperti teknik menghukum dan memgabaikan. Menurut Hoffman dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110) ”penggunaan penairkan cinta (love- withdrawal) tidak mendukung perkembangan moral anak, karena teknik ini terlalu menyuburkan perasaan bersalah yang irrasional dalam diri anak, namun tidak kuat menahan godaan”. Hoffman (Dalam Elida, 2005:111), juga meneliti pengaruh keberadaan orang tua lelaki dalam keluarga terhadap perkembangan moral anak. Anak pria yang ayahnya tidak ada, skor moralnya lebih rendah dari anak pria yang ayahnya tinggal bersama. Terjadi peristiwa ini dapat dikelaskan sebagai berikut :
a.       Para ayah dapat memberikan pengarahab alngsung cara bertingkah laku yang sesuia dengan standar moral, dalam situasi yang tidak disiplin.
b.      Peranan disiplin dari ayah menjadi terancam, kalau disiplin terlalu banyak ditangani oleh ibu. Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh ibu lebih besar terhadap perkembangan moral anak daripada pengaruh ayah.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:111) tentang hubungan antara disiplin orang tua dan perkembangan moral anak dapat disimpulkan  sebagai berikut :
a.       Orang tua dapat menonjolkan kekuasaan dalam mendisiplinkan anak, dapar melemahkan perkembangan moral anak.
b.      Orang tua yang melaksanakan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh buruk atau negatif bagi perkembangan moral anak.
c.       Orang tua yang menggunakan disiplin induksi, dapat meninggalkan perkembangan moral anak.
d.      Disiplin yang dilakukan ayah jarang mempengaruhi perkembangan moral anak.
e.       Perasaaan kasih sayang yang diberikan orang tua melalui tingkah laku yang ramah hangat, dan sentuhan-sentuhan fisik, sangat positif akibatnya terhadap perkembangan moral anak, terutama kasih sayang dari ibu.  



3. Interaksi dengan teman sebaya.

Piaget menyatakan bahwa ”interaksi dengan teman sebaya dan kemampuan bermain peran meningkatkan prekembangan moral anak” (J.B.Dsek Dalam Elida, 2005 : 112). Interaksi dengan teman sebaya dan kemampauan bermain  peran terjadi karena telah dikuasainya kemampuan role taking.kemampuan role taking adalah kemampuan memahami sesuatu atau peristiwa dari sudut pandang orang lain. Misalnya seorang anak yang kemampuan role taking-nya baik dapat memahami perasaaan kecewa temannya temannya itu diakrabinya secara berlebihan. Menurut Flavell, ”seharusnya anak umur tujuh tahun atau delapan tahun telah memiliki  keterampilan role taking yang sempurna”   (Elida Prayitno, 2005:175 ). Dengan perkembangan anak tujuh atau delapan tahun kemampuan role taking lebih tinggi, karena altruistik yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan dibandingkan tingkah laku altruistik anak yang tingkah laku role taking –nya rendah ajaran pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi positif yang tinggi( Surakhmad dalam Sunarto dan B.Agung Hartono, 2006:168 ). Dengan meningkatnya interaksi dengan teman sebaya maka kemampuan role taking pun makin mahir dan sempurna dan ini merupakan jalan bagi perkembangan moral.     



  1. Usaha-usaha orang tua dalam mengenbangkan moral anak

Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan besar dalam membentuk tingkah laku altruitis, role taking,dan perasaan bersalah pada anak. Kasih sayang orang tua terhadap anak, membangun sistem interaksi yang bermoral antara anak dengan orang lain. Hubungan  dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan kasih sayang, merupakan pupuk bagi perkembangan moral anak
Pengembangan tingkah laku  moral tidak lepas dari berbagai peran  keluarga adalah sebagai berikut :
a.        Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.
 Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah aku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan dengan aturan-aturan berhubungan sosial yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu. Kalau terjadi pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam keempat  sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat, karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah laku yang dianggap baik oleh orang dewasa  sekitarnya walaupun tidak sesuia dengan moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.  

b.      Memperkuat tingkah laku altruistik
Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku altruistik memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan moral anak. Tingkah laku suka menolong, membagi milik sendiri kepada teman sebaya merupakan contoh tingkah laku altruistik. Pada periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat dikembangkan secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan bahwa ”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak”. Tingkah laku empati dapat dilihat dari kemampuan anak untuk merasakan orang lain. Misalnya, seorang anak melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil. Anak  itu dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya sedang sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu tidak sdih, maka tingkah laku ini disebut altruistik.
       
c.        Membangkitkan perasaan bersalah
Untuk membangkitkan perasaan  bersalah jika melakukan sesuatu yang melanggar moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman (Dalam Elida, 2005:177) sebagai berikut : 

1)      Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum sempurna. Pada umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang sempurna.
2)      Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah lakunya terhadap orang lain dapat mengembangkan  perasaan bersalah. Disiplin seprti ini disebut disiplin dengan teknik induksi.
3)       Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.
4)      Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau memperbaiki tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.
5)      Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan diri sendiri.
6)      Perasaan bersalah dapat juga dikembangkan  dengan memberikan contoh.
7)      Perasaan bersalah dapat juga dilakukan dengan disiplin penarikan cinta.

d.      Memperkuat  kata hati

Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri. Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak berbeda  dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah.   Sutton dan Smith (Dalam Elida, 2005: 178) mengemukakan cara-cara membentuk kata hati anak, dengan maksud lebih memantapkan keyakinan para orang tua dan guru tentang perlunya usaha mengembangkan moral anak. Cara itu adalah sebagai berikut :

1.  Memberikan model
Orang tua dan guru merupakan model yang sangat penting dalam pengembangan moral anak. Anak meniru tingkah laku orang tua dan gurunya. Oleh karena itu orang tua yang mempunyai kata hati yang kuat akan ditiru oleh anak-anak.

2. menerapakan disiplin

Ada beberapa teknik untuk menerapkan disiplin, diantaranya adalah  sebagai berikut :
a.                Teknik disiplin dengan cara mencari penyebab kesalahan bertingkah laku.
b.      Teknik disiplin dengan cara ”induksi” yaitu dengan memberikan penjelasan mengapa anak dilarang atau dibolehkan melakukan tindakan tertentu.
c.                Teknik disiplin dengan membangkitkan perasaan bersalah.
d.      Teknik disiplin dengan penarikan cinta.  

.














BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan makalah ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Orang tua harus berperan dalam mengawasi perkembangan moral anak dengan memberikan penguatan hati, role taking, dan perasaan bersalah.
2.  Peran orang tua sangat berpengaruh dalam mengembangkan moral anak dapat diterima di masyarakat.
3.  Orang tua harus bisa mengarahkan anak kalau bersalah dalam melakukan sikap dengan sikap penuh kasih sayang..
4.   Pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk.
5.  Membentuk moral anak bisa dilakukan lewat story telling (dongeng). Kegiatan membaca dongeng dan berdiskusi antara orangtua dan anak ini dapat dilakukan di rumah.

B.   Saran

1. Pendidikan formal berfungsi melatih anak-anak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya. Sedangkan dengan pengetahuan moral, anak-anak diajak berpikir dan membangun etika dan karakter dirinya yang baik.
2. pendidikan moral untuk anak-anak bisa dilakukan di rumah, bisa dengan membahas buku-buku cerita bersama orangtua, membaca kitab suci ataupun mendongeng.
















DAFTAR PUSTAKA


Elida Prayitno dan Erlamsyah. 2004. Psikologi Perkembangan Padang : Buku Ajar

Elida Prayitno. 2005. Perkembangan Anak Usia Dini dan Usia SD. Padang : Angkasa Raya.

Bambang Daroeso.1989.Dasar Dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka Ilmu

Porf.Dr.H.Sunarto dan Dra.Ny.B.Agung Hartono.2006.PPD. Jakarta : Rineka Cipta     
  
 Mudjiran. 2000. Perkembangan peserta didik. Jakarta : Depdikbud

Cheppy HC. 1988. Pendidikan Moral dan Beberapa Pendeketan. Jakarta: Depdikbud.

Zakiah Daradjat. 1977. Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang

Sahlan Syafei. 2002.Bagaimana Anda Mendidik Anak. Jakarta: Ghalia Indonesia. 

 Sarlito W Sarwono.1976. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Abu said Al-khudri.2005. Syahwat Teleisi. Bandung: Mujahid Press

Milton chen. 1994. Anak-anak dan Televisi. Penerjemah Bern Hidayat.1996.
jakarta: Gramedia

E.Koeswara.1988. Agresi Manusia. Bandung: PT ERESCO

Stephen Fanzoi.1999. Psikologi Sosial. Penerjemah Rahmad.2000.
jakarta:Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar