Jumat, 18 November 2011

“MEMBANGUN KELUARGA BAHAGIA”


I. PENDAHULUAN

Untuk memahami makna perkawinan kita bersama akan mengacu pada definisi tersebut dibawah ini :
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami dan sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (UU Perkawinan N0. I/Bab I Pasal l UUD RI).

II. BAGAIMANA CARA MEMBANGUN KELUARGA YANG SUKSES DAN HARMONIS

Wallerstain (1995) mengungkapkan bahwa: perkawinan yang sukses akan menjadi sarana bagi kematangan dan pemantapan identitas seksual masing-masing pasangan dapat diungkapkan dalam uraian berikut ini:

  1. Konsolidasi perpisahan psikologis dan membentuk hubungan baru dengan keluarga batih.
Awal dari pembentukan keluarga dalam perkawinan berlanjut sampai dengan kelahiran anak.Tugas perkembangan awal dalam peran keluarga bagi kedua pasangan berfungsi sebagai cabang sistem keluarga. Pasangan perkawinan harus menciptakan relasi yang berbeda dengan keluarga besar; peran sebagai anak lakilaki dan perempuan harus menjadi nomor dua dibandingkan dengan peran sebagai suami atau istri. Taraf pada saat pasangan dapat mengembangkan relasi yang intim dan sekaligus independen sering sangat bergantung kepada cara setiap pasangan untuk mengembangkan identitas personal yang terpisah dengan keluarga asalnya. Seseorang harus menjadi “self” yang terpisah sebelum terlibat dengan bentuk pasangan.

  1. Menciptakan kebersamaan dan sekaligus mepertahankan otonomi.
Identitas baru yang tercipta pada pasangan perkawinan dibangun berdasarkan pada saling menghargai dan niat kedua pasangan untuk menjadikan relasi yang terjalin di antara mereka sebagai hal yang penting. Dalam hal ini, kedekatan dan kebersamaan dalam perkawinan menuntut pengorbanan dan kesediaan untuk meletakkan minat terhadap relasi yang terjalin antarpasangan di atas minat individual. Konstruksi identitas pasangan tidak akan terjadi apabila perkawinan yang terjalin lemah serta merupakan perkawinan yang menekan perasaan kedua pasangan. Pada pasangan perkawinan yang bahagia, kebersamaan tidak diciptakan dengan mempertaruhkan keseluruhan otonomi dari masing-masing pasangan. Jadi hakikat perkawinan selalu terkait dengan sejauh mana kedua pasangan tetap terjaga kadar otonomi tiap-tiap pasangan di dalam kebersamaannya.

  1. Menjadi orang tua.
Pasangan perkawinan yang telah memperoleh perasaan keintiman tanpa harus mempertaruhkan otonominya akan dapat mengatasi konflik-konflik yang terjadi dengan tepat sehingga pemenuhan tugas perkembangan psikologis pada awal pernikahan telah tercapai. Pasangan semacam ini akan siap menerima peran sebagai ayah dan ibu. Apabila pasangan perkawinan memiliki anak maka interelasi dalam perkawinan akan berubah menjadi relasi segitiga. Dalam situasi semacam ini ibu menjadi sangat dekat terhadap anak dan ayah akan menemukan jarak relasi dengan istri dan mengarahkan energinya lebih penuh terhadap pekerjaan. Bila terjadi situasi yang semacam ini maka sebagai pasangan perkawinan mereka tidak lagi menemukan kebersamaan yang optimal. Konflik akan berkembang dan untuk mengatasi konflik relasional tersebut kedua pasangan sebagai ayah dan ibu seyogyanya menempatkan anak sebagai peran kunci dalam memonitor jarak emosional antarpasangan.

  1. Mengatasi krisis.
Tugas perkembangan keempat dalam perkawinan adalah mengatasi krisis yang terkait dengan perkembangan jiwa masing-masing pasangan secara berlanjut. Masa transisi siklus kehidupan, stres tak terduga seperti kehilangan pekerjaan, penyakit, kelahiran bayi cacat, dan kematian sering menjadi tempat bagi krisis dalam keluarga. Dalam kasus-kasus semacam itu kedua pasangan akan merasa cemas atau marah karena merasa bahwa pasangannya tidak lagi mencintainya yang disebabkan oleh berbagai hal, misalnya dirinya mengganggur. Pengalaman dari pasangan perkawinan yang sukses dalam menghadapi krisis tersebut di atas adalah menghindari berjalan sendiri-sendiri secara terpisah bahkan justru mereka lebih memahami kondisi emosi dari pasangannya, untuk kemudian mereka mencari dan menghargai dukungan emosional yang mereka terima dari pasangannya sehingga pasangan justru mendapatkan relasi yang lebih dekat. Untuk itu maka, seyogianya;

a) Mereka mempertahankan perspektif dan berupaya memahami efek krisis terhadap perkawinan dan anggota keluarga lain.
b) Mereka menghindari untuk saling mempersalahkan satu sama lain oleh datangnya permasalahan tersebut.
c) Mereka bisa mencari kesenangan dan tidak membiarkan permasalahan mendominasi.
d) Mereka tidak merasa dikejar-kejar atau tidak berdaya
e) Mereka menghindari krisis yang lebih serius seperti depresi, minum-minuman keras, dan lain-lain. Pasangan perkawinan baru akan dapat mengambil kelima langkah tersebut diatas seandainya mereka sudah berhasil menciptakan ikatan perkawinan yang kuat.

  1. Mencari dan mendapatkan tempat yang aman untuk konflik.
Kedua pasangan harus belajar bagaimana mengekspresikan ketidaksetujuan pendapatnya terhadap pasangannya dalam cara yang aman. Dalam perkawinan yang sehat, kedua pasangan dapat melihat validitas kepedulian masing-masing pasangannya sedangkan pada relasi yang penuh tekanan konflik diekspresikan dalam bentuk yang menjijikkan dan serangan personal yang sering mengarah pada perceraian karena bila kedua pasangan saling menyerang, konflik akan meningkat serta mengarahkan peningkatan kemarahan dan frustrasi. Pasangan akan juga menghormati karakter masing-masing dan tidak memberikan intepretasi yang negatif terhadap perilaku pasangannya. Kedua pasangan secara bebas dapat mengekspresikan perasaan tanpa mengkhawatirkan akan kemungkinan perceraian.
  1. Menggali kehidupan seksual dan keintiman.
Tugas perkembangan keenam menuntut pasangan untuk mengembangkan relasi seksual mereka. Relasi seksual yang baik merupakan ekspresi afeksi dan menambahkan kekuatan yang besar dalam melandasi relasi perkawinan dan berpengaruh pada domain lain dari perkawinan. Bersamaan setelah pasangan menemukan kegembiraan seksual bersama persepsi mereka dan fantasi-fantasi antarpasangan pun meluas. Persepsi dan fantasi-fantasi tentang pasangan pun bertambah luas. Berbagi dalam pengalaman erotis, ingatan-ingatan tentang apa yang sudah mereka kreasikan dan ikatan fisik yang baru terjalin akan merubah image tentang diri masing-masing pasangan. Relasi seksual yang baik akan memperkuat keyakinan diri, mempertegas kebanggaan laki-laki akan kelakilakiannya dan kebanggaan perempuan akan keperempuanannya. Kemampuan untuk memberi dan menerima kesenangan seksual merupakan dimensi yang matang dari kedewasaan. Meraih kebersamaan dalam kehidupan seksual bukan hanya merupakan sumber dari kebanggaan masing-masing individu pasangan tetapi juga memperkuat kesatuan dan komitmen pasangan. Penyempurnaan dari tugas perkembangan ini tidak akan diperoleh apabila ada isu-isu yang tidak diekspresikan yang berpengaruh dalam relasi. Ekspresi dari keinginan dan hasrat setiap pasangan mempunyai risiko untuk ditolak sementara penolakan merupakan isu kunci, sama halnya dengan masalah uang atau masalah keintiman yang dapat menciptakan jarak dan ketidakpuasan. Apabila pasangan dapat mengkomunikasikan harapan dan keinginan secara terbuka mereka akan mampu merasa diterima dan mungkin meningkatkan relasi fisik mereka.

  1. Berbagi tawa dan mempertahankan minat hidup.
Kegembiraan bermain dan sense of humor merupakan hal yang penting dalam perkawinan yang sehat. Banyak pasangan sering melaporkan mereka sudah tidak bisa menjadi teman dan tidak lagi menikmati aktifitas bersama. Rasa senang dan humor akan membantu memperkuat ikatan perkawinan karena pasangan yang saling menyenangi aktifitas bersama yang mereka lakukan akan mampu berbagi dalam perasaan positif secara lebih sering, mampu mengelola konflik lebih baik dan mempertahankan visi masa depan yang telah disepakati. Tipe ikatan tersebut akan membantu pasangan pada saat pasangan berada dalam keadaan stres atau waktu menghadapi konflik di dalam perkawinan. Mereka tidak hanya senang bersama tetapi juga tetap memiliki minat individual. Mereka juga memberikan peluang bagi pasangannya untuk melakukan minat masing-masing dan memberikan waktu untuk berkawan dengan teman masing-masing.

8.      Memberikan pelayanan emosional.
Perkawinan yang sehat akan saling memberikan perhatian dan dukungan pada pasangannya. Perkawinan seharusnya memberikan zona aman agar kedua pasangan merasa nyaman dan memberikan pelayanan untuk melindungi mereka dari tuntutan keseharian dunia luar. Jika kedua pasangan merasa nyaman di rumah mereka akan dengan sendirinya saling memberikan dukungan emosional. Karena bila pasangan merasa terisolasi dan tidak mendapatkan support emosional dari pasangannya, pasangan akan mengalami problem emosional seperti depresi, anxiety, dan penurunan rasa harga diri, mereka pun akan dengan mudah menjalin relasi yang terpercaya satu sama lain.

9.    Memelihara visi ganda.
Soliditas dari relasi antarpasangan akan terbentuk apabila pasangan tersebut mengingat kembali bagaimana mereka bertemu dan bagaimana mereka bisa saling mengikatkan diri. Kebutuhan akan mengingat kembali bayangan-bayangan masa lalu akan membantu pasangan keluar dari rutinitas yang menjemukan, sering terjadi kedua pasangan menemukan diri mereka tidak mampu mencari bahan pembicaraan karena diskusi mereka yang lalu terfokus pada masalah anak-anak.
Untuk pasangan yang berada dalam situasi tersebut, ingatan yang positif yang telah terjadi di masa lalu akan dapat membangun ritual baru yang sesuai dengan tahap perkembangan dimana kedua pasangan berada.

III. KONFLIK PERKAWINAN

Kita menyadari memang tidak ada perkawinan tanpa konflik. Karena, tidak satu pun individu akan begitu saja mengabaikan pengalaman masa lalu dan keyakinan-keyakinan yang telah terbentuk dari pengalaman hidup masa lalu untuk meraih ketenangan dan ketentraman dalam ikatan perkawinan yang baru saja dialami. Terdapat beberapa sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara dinamis sebagai berikut;

a)      Perbedaan yang tidak terelakkan.
Dua orang adalah dua orang dan secara esensial mereka berbeda. Mereka tidak akan pernah memiliki perspektif yang sama. Pengalaman mereka berbeda, kebutuhan-kebutuhan mereka berbeda dan nilai-nilai yang mereka anutpun akan memberikan pengaruh sudut pandangnya dalam menghadapi permasalahan seperti pada ilustrsi berikut;
"Kami tidak bisa berkomunikasi, Ia selalu secara keras menolak usul saya dan ia tidak pernah mau mendengar apa yang saya sampaikan. Apabila ia berpendapat bahwa saya berada pada tempat yang berbeda. Setiap pembicaraan kami berakhir dengan pertengkaran."

Respon dari salah satu pasangan tentang pasangannya membuat kehidupan bersama menjadi tidak memperoleh toleransi dari kedua pasangan. Banyak individu berpikir bahwa permasalahan yang ia hadapi dalam perkawinan lebih disebabkan oleh kesalahan pasangannya dengan demikian terdapat satu cara pandang permasalahan sebagai berikut.
"Bila saya mengeluhkan kesedihan dan permasalahan padanya, saya merasa bahwa sayalah yang terluka. Ia selalu mengatakan bahwa kalau saya ingin mengatasi masalah, saya harus mulai dari diri saya sendiri. Ia selalu mengatakan bahwa kelakuannya tidak terkait dengan kesedihan yang saya rasakan."
Cara lain untuk memandang permasalahan sering ada dalam dua pasangan perkawinan. Karena pada dasarnya tidak akan terjadi suatu perbedaan dalam cara pandang permasalahan hanya oleh sebab salah satu pasangan, seperti pada contoh berikut:
"Karena suami saya pernah mendapatkan pertolongan dari seorang psikiater,saya berpendapat bahwa setiap permasalahan yang terjadi di antara kami disebabkan oleh dirinya padahal permasalahan yang ia hadapi pada masa lalu disebabkan oleh perlakuan orang tuanya sedangkan cara pandang saya terhadap masalah juga dipengaruhi oleh sikap orang tua terhadap saya pada masa lalu saya dan yang pasti orang tua saya berbeda dengan orang tuanya"
Seraya dua pasangan tidak mampu menemukan persetujuan yang total, mereka juga harus mampu menerima perbedaan-perbedaan esensial dari diri masing-masing dan berupaya untuk mencari titik temu yang disepakati bersama.
b)      Perbedaan harapan
Konflik perkawinan dapat berpijak pada perbedaan harapan antarpasangan. Tugas pertama adalah untuk mengenali sejauh mana perbedaan harapan-harapan di antara kedua pasangan tersebut, namun yang akan sulit dideteksi adalah harapan-harapan yang berada di lapisan sadar dari masing-masing pasangan. Sementara itu pasangan mencoba untuk menganalisis perbedaan model parental masing-masing pasangan dan menemukan bahwa konflik personal yang mereka hadapi sering tidak terlampau berbeda latar belakangnya apabila kedua pasangan mencoba menelusuri dan memahami model parental masing-masing. Jika terjadi konflik yang terkait dengan perbedaan parental model masing-masing, maka cara yang terbaik bagi kedua pasangan untuk bisa mengatasi masalah tersebut baruakan diperoleh apabila permasalahan yang mereka hadapi tidak divonis sebagai akibat dari kekurangan personal antarpasangan melainkan lebih pada permasalahan karena apabila kedua pasangan melihat perbedaan harapan di antara pasangan sebagai kekurangan personal dari masing-masing pasangan maka tanpa disadari akan terbina suatu sikap defensif yang justru akan menghambat penyelesaian persoalan.
"Ia selalu mengatakan bahwa ia tidak percaya pada saya karena saya memang ia kenali sebagai seseorang yang ragu dan sering tidak konsisten. Memang benar saya terkadang besikap ambivalen namun yang saya tidak suka adalah bahwa sisi negatif tersebut adalah merupakan keseluruhan pribadi saya."

c)      Kepekaan
Peningkatan dalam keterlibatan afeksional akan membuat pasangan meningkatkan pula keterbukaan dirinya. Pada mulanya sangat mudah seseorang untuk merasa puas dengan berbagi perasaan namun bila sampai pada perasaan yang kritis, maka pasangan tersebut akan menjadi sangat ketakutan. Sering terjadi reaksi negatif yang ditunjukkan oleh salah satu individu dalam pasangan atau keduanya akan menyebabkan pasangan tersebut merasa terancam, sehingga keterbukaan diri pada pasangan tidak merupakan jaminan bagi terciptanya relasi yang intim.
"Makin saya tahu banyak tentang kamu, semakin tidak suka saya padamu.".
Bersikap terbuka terhadap pasangan menjadikan pasangan tersebut peka terhadap kritik, keputusan, dan kemungkinan kekecewaan-kekecewaan terhadap pencapaian harapan-harapannya. Selain itu, risiko untuk saling terbuka cenderung menciptakan permainan umum yang meningkatkan sikap pertahanan diri dari tiap-tiap pasangan yang pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pasangan agar tidak tersinggung dan secara terselubung memanipulasi relasi antarpasangan. Dinamika interaktif yang semacam ini pada suatu saat akan memunculkan konflik yang intens karena melibatkan aspek alam bawah sadar dari salah satu atau kedua pasangan, sehingga masalah privasi harus tetap menjadi privat, menjadi salah satu faktor penentu apakah keterbukaan di antara tiap-tiap individu dalam pasangan akan memperkuat makna keintiman relasi atau justru meningkatkan kepekaan bagi munculnya konflik di antara pasangan.

d)      Keintiman dari perkawinan.
Orang akan menunjukkan perilaku yang terbaik di muka umum. Di rumah mereka menampilkan diri sebagaimana adanya. Kedok privasi dilepaskan dan seringkali hasilnya bisa saja sangat tidak diinginkan karena 'jorok', 'kotor', dan bahkan bisa saja sangan menjijikan. Hidup bersama orang lain sebagai pasangan perkawinan dalam satu atap akan membuat pasangan menunjukkan sisi lain yang aslinya. Hal ini tentu saja akan merupakan gangguan dari relasi yang sedianya dibentuk dari aspek-aspek yang termanis dari kehidupannya, misalnya pada saat mereka masih dalam relasi berpacaran. Keintiman relasi yang terjalin pada masa pacaran dilakukan dengan upaya yang keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian. Perilaku yang menjijikan yang akhirnya muncul dalam kehidupan bersama dalam satu atap setelah menikah akan mengingatkan dan menghidupkan kembali kedua pasangan akan kecemasan masa kanak-kanak yang diwarnai oleh hukuman-hukuman yang diberikan orang tua manakala mereka menunjukkan perilaku 'jorok' dan perilaku yang tidak dibenarkan dalam keluarga. Apabila perilaku negatif tersebut muncul pada masa perkawinan apakah dari diri maupun dari pasangannya, hal itu akan memunculkan ketakutan akan hukuman orang tua dan kehilangan kasih orang tua yang sebenarnya sudah terlupakan.

e)      Aspek kumulatif dalam perkawinan.
Stres adalah kumulatif. Ketegangan berkembang dengan kondisi iritasi yang berlanjut. Seorang anak dapat toleran pada iritasi fisik untuk periode dan waktu yang terbatas, namun bila tampilannya cukup lama dapat mengembangkan satu alergi. Bagitu pula halnya dengan orang dewasa yang dapat mengatasi perilaku yang mengganggu untuk beberapa jam atau beberapa hari. Tetapi bila perilaku yang mengganggu tersebut secara berlanjut harus dihadapi akan membuat mereka menjadi alergi. Sangatlah tidak menguntungkan apabila alergi-alergi yang muncul hanya diatasi dengan cara simptomatis, karena jawaban yang sebenarnya dari reaksi alergi harus dicari dari stres yang mendasari dan yang membuat orang tersebut membiarkan reaksi yang berlebihan serta sangat terganggu oleh stress yang mendasarinya.

f)       Persaingan dalam perkawinan.
Kebencian dan persaingan sangat familiar dalam kehidupan perkawinan pada setiap perkawinan yang terjadi. Salah satu individu dalam pasangan mungkin saja cemburu oleh karena pasangannya memberikan waktu yang berlebihan pada pekerjaan atau pada hubungan pasangannya dengan salah satu anak mereka. Salah satu individu dalam pasangan bisa saja benci pada sukses yang diperoleh pasangannya atau pada kemampuan pasangan untuk menjalin hubungan pertemanan dengan mudah dan pasangan yang dengan nyaman bisa berada dalam pesta-pesta. Mungkin saja salah satu individu dalam pasangan pun bersaing dalam kecepatan bangun pagi. Mungkin saja salah satu individu dalam pasangan khawatir untuk dinilai oleh pasangannya sebagai orang yang malas bila bangun tidur setelah pasangannya bangun. Jadi menjadi manusia apakah sebagai suami dan istri akan dihadapkan pada kompetisi untuk hal-hal tertentu, seperti misalkan uang atau afeksi atau status yang bisa diperoleh pasangannya. Di dalam masyarakat yang kompetitif, kebutuhan untuk menjadi pemenang sangat ditekankan sehingga persaingan akan selalu mempengaruhi setiap manusia. Banyak pasangan perkawinan bermain peran dalam situasi kompetitif yang bisa membuat pasangannya tertekan. Seraya salah satu pasangan mengekspresikan kesedihan, seraya itu pula sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa "Saya merasa tidak bahagia hidup dengan kamu karena kamu kikir dan saya bisa membuktikan bahwa kamu memang benar-benar kikir." Banyak pasangan melakukan transformasi permainan dengan cara memberikan ganjaran pada pasangan pertama yang mampu memecahkan jurang pemisah di antara mereka setelah satu pertengkaran. Ganjaran tersebut diberikan oleh salah satu individu dalam pasangan untuk mendapatkan keduanya merasakan kemenangan dalam persaingan.

g)      Perubahan-perubahan dalam perkawinan.
Walster dkk (1989) menemukan kenyataan bahwa bila pasangan suami-istri berada dalam sistem interelasi yang berubah dari hari ke hari, di mana salah satu individu dalam pasangan merasa tidak diperlukan atau tidak dinginkan oleh pasangannya, maka mereka akan rentan terhadap perselingkuhan di luar perkawinan. Tentu saja, dalam kurun waktu yang lebih cepat daripada kemungkinan terjadinya perselingkuhan daripada pasangan berada dalam relasi yang adil dan sejajar. Selain itu, pasangan yang merasa tidak diperlukan atau tidak diinginkan oleh pasangannya akan mengalami kesulitan dalam relasi seksualnya. Respons mereka akan bersifat sadistik atau pasif-agresif. Untuk memahami konflik secara utuh, kita perlu melihat 3 kategorisasi dari tipe konflik yang diungkapkan oleh Scanzoni & Scanzoni (1988) sebagai berikut:

(1) Zero-Sum and Motive Conflict.
Di dalam kontes pertandingan banteng akan terjadi kekalahan baik pada pihak matador atau pada pihak banteng—tidak bisa kalah semua. Konflik sosial bisa seperti tipe tersebut yang biasanya disebut zero-sum.. Di dalam interaksi sosial, situasi makes motive lebih sering terjadi dari pada tipe zero-sum. Di dalam konflik makes motive, salah satu individu dalam pasangan mengharapkan akan mendapatkan keuntungan lebih dari apa yang diberikan pasangannya tetapi mereka tidak pernah berharap untuk menghabisi secara total pasangan lawannya. Mereka lebih berminat untuk tetap bersama namun semaksimum mungkin memperoleh keuntungan yang bisa mereka peroleh, untuk melanjutkan relasi mereka apabila dimungkinkan.

(2) Personality based and situational conflict.
Konflik perkawinan sering berakar pada konflik situasional dan konflik atas dasar perbedaan kepribadian. Seorang istri mungkin saja enggan melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak karena pada masa lalu sebenarnya ia bercita-cita untuk menyelesaikan sekolahnya sementara suami enggan diserahi tanggung jawab mengurus anak karena ia merasa bahwa itu adalah tugas seorang istri. Sikap istri yang lebih suka membaca dan menonton televisi dibandingkan dengan melakukan tugas rumah tangga sebetulnya juga menunjukkan protes kepada suami yang baru menunjukkan kasih saying kepada istri bila ia menginginkan hubungan seks. Dalam situasi ini, maka seharusnya suami memahami kebutuhan afeksi istri dan memberikan afeksinya juga di luar kebutuhan akan hubungan seksual dan atas dasar kepuasan istri yang memperoleh afeksi yang cukup dari suami maka istri akan dengan sendirinya dengan senang hati melakukan pekerjaan rumah tangga, untuk kemudian suami memberikan kesempatan istri melanjutkan sekolahnya pada waktu yang tepat.

(3) Basic and nonbasic conflict
Konflik kedua pasangan dalam membeli mobil baru disebut konflik non-basic karena konflik tersebut lebih terkait dengan perubahan situasional. Namun apabila konflik tersebut berangkat dari perubahan-perubahan situasional, maka hal ini disebut basic conflict. Jadi dalam setiap sistem sosial, basic conflict dapat berarti ketidakstabilan atau bahkan kelumpuhan total. Sejauh mana basic conflict bisa terjadi oleh kontribusi ekonomi di antara kedua pasangan dapat diilustrasikan akhir masa hidup dari novelis Count Leo Tolstoy dan istrinya Countess Tolstoy. Ny. Tolstoy tidak setuju bila suaminya membagikan sebagian royalti dari novelnya kepada orang miskin karena di dalam pikiran istri mengapa harus memberikan uang kepada orang lain sementara anak-anaknya membutuhkan biaya yang banyak untuk pendidikan. Di dalam hal ini konsumsi dari sumber daya untuk tetap hidup dan untuk status merupakan basic issue dalam kehidupan perkawinan. Di samping itu, hilangnya oasis keintiman membuat dinamika interelasi antarpasangan yang diwarnai oleh antara lain. Oasis keintiman ditandai oleh beberapa indikator sebagai berikut:

~Suami dan istri keduanya merasa kesepian. Mereka merasa sendiri dengan problema-problema mereka, merasa tidak dipahami dan merasa tidak mampu menjelaskan apa yang mereka inginkan untuk mendapatkan simpati.
~Kedua pasangan merasa ditolak sehingga merasa tidak diinginkan dan tidak aman.
~Mereka menderita oleh kekurangan komunikasi. Mereka tidak mampu berbicara dengan manis tentang problem-problem mereka dan tidak mampu menghadapi problem-problem bersama.
 ~Mereka mengalami kehilangan perspektif.
 Mereka telah melupakan semua hal yang pernah pada suatu saat membuat mereka menyukai satu sama lain, mereka juga melupakan hal-hal apa yang membuat mereka pernah bisa merasa senang bersama dan memberikan kenikmatan bersama itu. Mereka juga kehilangan keceriaan dan optimisme. Mereka merasa tidak berdaya dan tidak memiliki harapan akan masa depan. Jadi, mereka gagal untuk kembali kepada oasis dari keintiman yang mereka harapkan sebelumnya. Komunikasinya tidak dalam dan tidak dilandasi oleh perasaan dan pikiran yang mendalam. Mereka juga tidak mampu mengungkapkan perasaannya dan tidak mampu bergandengan tangan dengan dekat sebagai teman terpercaya, mereka tidak menemukan rasa aman yang tulus, simpati dan support yang dibutuhkan setiap orang dan dijanjikan oleh apa yang diharapkan dalam suatu
perkawinan. Mereka merasa asing satu sama lain bahkan bisa saja bermusuhan satu sama lain. Konflik perkawinan dilandasi oleh konsekuensinya terhadap relasi pasangan perkawinan, karena ada dua jenis konflik sbb:

a)      Konflik yang Menguntungkan.
Karena konflik tidak dapat dielakan maka muncul issue bukan bagaimana menghindari konflik namun bagaimana menyelesaikan konflik. Para pakar ilmu social setuju bahwa konflik justru sering memperkuat ikatan relasi sosial dan membuat ikatan tersebut semakin mengandung ganjaran yang diharapkan. Apabila konflik dapat diatasi dengan cara yang memuaskan maka akan dengan sendirinya menghindari terjadinya hukuman. Hasil akhir dari konflik dapat secara maksimum memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Sikap oposisi adalah kekuatan regeneratif yang mengintroyeksikan vitalitas baru ke dalam struktur. Tawar-menawar baru yang berkembang dari konflik sama artinya dengan beberapa aspek dari relasi total yang dapat direvisi, diubah, dan dibuat lebih bernilai daripada menolak konflik serta menolak kemungkinan untuk mencari jalan keluar. Proses regeneratif ini tidak hanya dapat dilihat dari prospektif mikro seperti suamiistri tetapi juga dapat melihat dalam level makro di mana bangsa terdiri dari berbagai kelompok yang saling berhubungan, misalnya antara buruh dan manajer.

b) Konflik yang menghancurkan
Konflik—baik kelompok masyarakat maupun unit sosial terkecil, seperti halnya pasangan suami-istri—dapat meningkatkan kohesifitasnya, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa konflik akan justru menghancurkan hubungan di antara anggota masyarakat bahkan pasangan suami-istri. Apabila suami dan istri mencoba untuk mengatasi konflik dengan secara berlanjut memperkuat kekuasaan yang tidak diakui merasa dieksploitasi, merasa tidak puas, dan tidak dipercaya maka konflik tersebut akan diakhiri dengan hancurnya hubungan pasangan suamiistri.
Istri yang merasa kurang mendapatkan dukungan finansial dalam kelangsungan hidup perkawinan akan memandang upaya suami untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai kekuasaan yang tidak diakui. Konflik yang berkembang dari situasi tersebut akan mengarah pada keadaan fatal.

IV. PENYELESAIAN KONFLIK PERKAWINAN
Ada 5 gaya penyelesaian konflik perkawinan;

(1)   Gaya Kompetitif.
Orang yang menggunakan gaya kompetitif cenderung untuk menyelesaikan masalah dengan cara agresif dan tidak kooperatif, memaksakan kehendak diri, kalau perlu mengorbankan kepentingan orang lain. Kekuasaannya diperoleh dari konfrontasi langsung dan dengan mencoba mendapat kemenangan tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dalam rentang tujuan dan hasrat orang lain. Kehidupan adalah peperangan bagi orang yang competitive. Ungkapan yang sering muncul daripadanya adalah sebagai berikut;
Pada saat saya terlibat dengan diskusi yang memanas, saya mendapat kesulitan untuk berhenti“ dan “saya menyukai eksitasi emosi yang terjadi dalam pertengkaran sengit“ (Wilmot & Hocker, 1998). Orang yang kompetitif mengalami kesulitan untuk menjalin relasi intim.

(2)   Gaya kolaburatif.
Orang yang menggunakan gaya kolaburatif adalah seseorang yang kecenderungan asertifnya cukup tinggi dalam meraih apa yang diinginkan, namun pertimbangan terhadap orang lain juga cukup besar. Seorang kolaborator akan mengungkapkan pertanyaan sebagai berikut; “Bila saya menghadapi konflik dengan orang lain, maka saya akan berusaha secara kreatif dengan orang tersebut untuk mendapatkan pilihan keputusan baru “ atau “ Saya suka membuka diri saya dan saya juga suka bekerja sama dengan orang-orang lain”.
Orang yang suka bekerja sama cenderung mudah untuk merasa jenuh dalam relasi dengan orang lain karena terlalu banyak melakukan investasi energi dalam memecahkan masalah. Masalah lain yang ada dalam seorang kolaborator adalah bahwa kolaborator yang baik sangat berkuasa dan sering mereka memanipulasi orang lain dengan kekuatan dan kekuasaan mereka tersebut.

(3)   Gaya kompromistis.
Orang yang kompromistis adalah orang yang menjadi penengah seperti yang dapat diidentifikasi dengan pernyataan di bawah ini.
“Kamu harus puas dengan sebagian potongan kue” atau “Bila terjadi ketidaksetujuan, maka kamu harus saling memberi sedikit “

(4)   Gaya Hindar.
Perilaku tidak asertif dan perilaku pasif merupakan karakteristik dari Gaya hindar, orang tipe ini sama sekali tidak mempertimbangkan kebutuhannya sendri dan juga kebutuhan orang lain. Mereka menyampingkan masalah dengan mengubah subjek permasalahan atau melarikan diri dari konflik. Gaya hinder justru sering membuat konflik menjadi lebih mendalam.

(5)   Gaya akomodatif.
Perilaku tidak asertif tetapi perilaku kooperatif merupakan karakteristik dari gaya akomodatif. Orang tipe ini memberikan respons terhadap konflik dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu demi keuntungan kedua belah pihak Tidak satu pun cara pemecahan konflik tersebut di atas secara otomatis lebih baik dari yang lain. Setiap gaya memiliki keuntungan dan kerugian dalam lingkup tertentu dan di antara orang-orang yang berbeda. Jelasnya tidak ada cara yang sederhana dan mudah untuk mengatasi konflik manusiawi. Setiap situasi harus didekati dengan penuh pertimbangan dan pemikiran yang matang. Orang yang berada dalam konflik harus mempertimbangkan berbagai faktor termasuk aspek kepribadian dari orang-orang yang terlibat konflik, manfaat-manfaat dari argumentasi dan taraf investment yang harus dilakukan untuk membuat relasi tetap berlangsung.

Timbul pertanyaan bagaimanakah karakteristik perkawinan yang sukses ?
V. KARAKTERISTIK KUALITAS PERKAWINAN YANG SUKSES SEBAGAI BERIKUT:

1. Komitmen yang terjaga
2. Kejujuran,kesetiaan, kepercayaan,
3. Rasa tanggungjawab,
4. Kesediaan untuk menyesuaikan diri,
5. Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual,
6. Mempertimbangkan keinginan pasangan,
7. Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan,
8. Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta kasih penuh afeksi,
9. Pertemanan yang nyaman antar pasangan,
10. Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan,
11. Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya. Sekian.













DAFTAR PUSTAKA :

BLOOD, Bob & Margareth. 1978. Marriage. NY : The Free Press.
SADARJOEN, Sawitri S. 1982. Kumpulan Makalah Aneka Deviasi Seksual.
Bandung : Biro Psikologi Psikodinamika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar