I. PENDAHULUAN
Untuk memahami makna
perkawinan kita bersama akan mengacu pada definisi tersebut dibawah ini :
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang
wanita dan seorang pria sebagai suami dan sebagai istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa (UU Perkawinan N0. I/Bab I Pasal l UUD RI).
II. BAGAIMANA CARA MEMBANGUN KELUARGA YANG SUKSES
DAN HARMONIS
Wallerstain (1995)
mengungkapkan bahwa: perkawinan yang sukses akan menjadi sarana bagi kematangan
dan pemantapan identitas seksual masing-masing pasangan dapat diungkapkan dalam
uraian berikut ini:
- Konsolidasi perpisahan psikologis dan membentuk hubungan baru dengan keluarga batih.
Awal
dari pembentukan keluarga dalam perkawinan berlanjut sampai dengan kelahiran
anak.Tugas perkembangan awal dalam peran keluarga bagi kedua pasangan berfungsi
sebagai cabang sistem keluarga. Pasangan perkawinan harus menciptakan relasi
yang berbeda dengan keluarga besar; peran sebagai anak lakilaki dan perempuan
harus menjadi nomor dua dibandingkan dengan peran sebagai suami atau istri.
Taraf pada saat pasangan dapat mengembangkan relasi yang intim dan sekaligus
independen sering sangat bergantung kepada cara setiap pasangan untuk
mengembangkan identitas personal yang terpisah dengan keluarga asalnya.
Seseorang harus menjadi “self” yang terpisah sebelum terlibat dengan
bentuk pasangan.
- Menciptakan kebersamaan dan sekaligus mepertahankan otonomi.
Identitas baru yang
tercipta pada pasangan perkawinan dibangun berdasarkan pada saling menghargai
dan niat kedua pasangan untuk menjadikan relasi yang terjalin di antara mereka
sebagai hal yang penting. Dalam hal ini, kedekatan dan kebersamaan dalam
perkawinan menuntut pengorbanan dan kesediaan untuk meletakkan minat terhadap
relasi yang terjalin antarpasangan di atas minat individual. Konstruksi
identitas pasangan tidak akan terjadi apabila perkawinan yang terjalin lemah
serta merupakan perkawinan yang menekan perasaan kedua pasangan. Pada pasangan
perkawinan yang bahagia, kebersamaan tidak diciptakan dengan mempertaruhkan
keseluruhan otonomi dari masing-masing pasangan. Jadi hakikat perkawinan selalu
terkait dengan sejauh mana kedua pasangan tetap terjaga kadar otonomi tiap-tiap
pasangan di dalam kebersamaannya.
- Menjadi
orang tua.
Pasangan perkawinan yang
telah memperoleh perasaan keintiman tanpa harus mempertaruhkan otonominya akan
dapat mengatasi konflik-konflik yang terjadi dengan tepat sehingga pemenuhan
tugas perkembangan psikologis pada awal pernikahan telah tercapai. Pasangan
semacam ini akan siap menerima peran sebagai ayah dan ibu. Apabila pasangan
perkawinan memiliki anak maka interelasi dalam perkawinan akan berubah menjadi
relasi segitiga. Dalam situasi semacam ini ibu menjadi sangat dekat terhadap
anak dan ayah akan menemukan jarak relasi dengan istri dan mengarahkan
energinya lebih penuh terhadap pekerjaan. Bila terjadi situasi yang semacam ini
maka sebagai pasangan perkawinan mereka tidak lagi menemukan kebersamaan yang
optimal. Konflik akan berkembang dan untuk mengatasi konflik relasional
tersebut kedua pasangan sebagai ayah dan ibu seyogyanya menempatkan anak
sebagai peran kunci dalam memonitor jarak emosional antarpasangan.
- Mengatasi
krisis.
Tugas perkembangan keempat
dalam perkawinan adalah mengatasi krisis yang terkait dengan perkembangan jiwa
masing-masing pasangan secara berlanjut. Masa transisi siklus kehidupan, stres
tak terduga seperti kehilangan pekerjaan, penyakit, kelahiran bayi cacat, dan
kematian sering menjadi tempat bagi krisis dalam keluarga. Dalam kasus-kasus
semacam itu kedua pasangan akan merasa cemas atau marah karena merasa bahwa
pasangannya tidak lagi mencintainya yang disebabkan oleh berbagai hal, misalnya
dirinya mengganggur. Pengalaman dari pasangan perkawinan yang sukses dalam
menghadapi krisis tersebut di atas adalah menghindari berjalan sendiri-sendiri
secara terpisah bahkan justru mereka lebih memahami kondisi emosi dari
pasangannya, untuk kemudian mereka mencari dan menghargai dukungan emosional
yang mereka terima dari pasangannya sehingga pasangan justru mendapatkan relasi
yang lebih dekat. Untuk itu maka, seyogianya;
a) Mereka mempertahankan
perspektif dan berupaya memahami efek krisis terhadap perkawinan dan anggota
keluarga lain.
b) Mereka menghindari
untuk saling mempersalahkan satu sama lain oleh datangnya permasalahan
tersebut.
c) Mereka bisa mencari
kesenangan dan tidak membiarkan permasalahan mendominasi.
d)
Mereka tidak merasa dikejar-kejar atau tidak berdaya
e) Mereka menghindari
krisis yang lebih serius seperti depresi, minum-minuman keras, dan lain-lain. Pasangan
perkawinan baru akan dapat mengambil kelima langkah tersebut diatas seandainya
mereka sudah berhasil menciptakan ikatan perkawinan yang kuat.
- Mencari
dan mendapatkan tempat yang aman untuk konflik.
Kedua pasangan harus
belajar bagaimana mengekspresikan ketidaksetujuan pendapatnya terhadap
pasangannya dalam cara yang aman. Dalam perkawinan yang sehat, kedua pasangan
dapat melihat validitas kepedulian masing-masing pasangannya sedangkan pada
relasi yang penuh tekanan konflik diekspresikan dalam bentuk yang menjijikkan
dan serangan personal yang sering mengarah pada perceraian karena bila kedua
pasangan saling menyerang, konflik akan meningkat serta mengarahkan peningkatan
kemarahan dan frustrasi. Pasangan akan juga menghormati karakter masing-masing
dan tidak memberikan intepretasi yang negatif terhadap perilaku pasangannya.
Kedua pasangan secara bebas dapat mengekspresikan perasaan tanpa mengkhawatirkan
akan kemungkinan perceraian.
- Menggali
kehidupan seksual dan keintiman.
Tugas perkembangan keenam
menuntut pasangan untuk mengembangkan relasi seksual mereka. Relasi seksual
yang baik merupakan ekspresi afeksi dan menambahkan kekuatan yang besar dalam
melandasi relasi perkawinan dan berpengaruh pada domain lain dari perkawinan.
Bersamaan setelah pasangan menemukan kegembiraan seksual bersama persepsi
mereka dan fantasi-fantasi antarpasangan pun meluas. Persepsi dan
fantasi-fantasi tentang pasangan pun bertambah luas. Berbagi dalam pengalaman
erotis, ingatan-ingatan tentang apa yang sudah mereka kreasikan dan ikatan
fisik yang baru terjalin akan merubah image tentang diri masing-masing
pasangan. Relasi seksual yang baik akan memperkuat keyakinan diri, mempertegas
kebanggaan laki-laki akan kelakilakiannya dan kebanggaan perempuan akan
keperempuanannya. Kemampuan untuk memberi dan menerima kesenangan seksual
merupakan dimensi yang matang dari kedewasaan. Meraih kebersamaan dalam
kehidupan seksual bukan hanya merupakan sumber dari kebanggaan masing-masing
individu pasangan tetapi juga memperkuat kesatuan dan komitmen pasangan.
Penyempurnaan dari tugas perkembangan ini tidak akan diperoleh apabila ada
isu-isu yang tidak diekspresikan yang berpengaruh dalam relasi. Ekspresi dari
keinginan dan hasrat setiap pasangan mempunyai risiko untuk ditolak sementara
penolakan merupakan isu kunci, sama halnya dengan masalah uang atau masalah
keintiman yang dapat menciptakan jarak dan ketidakpuasan. Apabila pasangan
dapat mengkomunikasikan harapan dan keinginan secara terbuka mereka akan mampu
merasa diterima dan mungkin meningkatkan relasi fisik mereka.
- Berbagi
tawa dan mempertahankan minat hidup.
Kegembiraan bermain dan sense
of humor merupakan hal yang penting dalam perkawinan yang sehat. Banyak
pasangan sering melaporkan mereka sudah tidak bisa menjadi teman dan tidak lagi
menikmati aktifitas bersama. Rasa senang dan humor akan membantu memperkuat
ikatan perkawinan karena pasangan yang saling menyenangi aktifitas bersama yang
mereka lakukan akan mampu berbagi dalam perasaan positif secara lebih sering,
mampu mengelola konflik lebih baik dan mempertahankan visi masa depan yang
telah disepakati. Tipe ikatan tersebut akan membantu pasangan pada saat
pasangan berada dalam keadaan stres atau waktu menghadapi konflik di dalam
perkawinan. Mereka tidak hanya senang bersama tetapi juga tetap memiliki minat
individual. Mereka juga memberikan peluang bagi pasangannya untuk melakukan
minat masing-masing dan memberikan waktu untuk berkawan dengan teman
masing-masing.
8.
Memberikan pelayanan emosional.
Perkawinan yang sehat akan
saling memberikan perhatian dan dukungan pada pasangannya. Perkawinan
seharusnya memberikan zona aman agar kedua pasangan merasa nyaman dan
memberikan pelayanan untuk melindungi mereka dari tuntutan keseharian dunia
luar. Jika kedua pasangan merasa nyaman di rumah mereka akan dengan sendirinya
saling memberikan dukungan emosional. Karena bila pasangan merasa terisolasi
dan tidak mendapatkan support emosional dari pasangannya, pasangan akan
mengalami problem emosional seperti depresi, anxiety, dan penurunan rasa
harga diri, mereka pun akan dengan mudah menjalin relasi yang terpercaya satu
sama lain.
9. Memelihara visi ganda.
Soliditas dari relasi
antarpasangan akan terbentuk apabila pasangan tersebut mengingat kembali
bagaimana mereka bertemu dan bagaimana mereka bisa saling mengikatkan diri.
Kebutuhan akan mengingat kembali bayangan-bayangan masa lalu akan membantu
pasangan keluar dari rutinitas yang menjemukan, sering terjadi kedua pasangan
menemukan diri mereka tidak mampu mencari bahan pembicaraan karena diskusi
mereka yang lalu terfokus pada masalah anak-anak.
Untuk pasangan yang berada
dalam situasi tersebut, ingatan yang positif yang telah terjadi di masa lalu
akan dapat membangun ritual baru yang sesuai dengan tahap perkembangan dimana
kedua pasangan berada.
III. KONFLIK PERKAWINAN
Kita menyadari memang
tidak ada perkawinan tanpa konflik. Karena, tidak satu pun individu akan begitu
saja mengabaikan pengalaman masa lalu dan keyakinan-keyakinan yang telah
terbentuk dari pengalaman hidup masa lalu untuk meraih ketenangan dan
ketentraman dalam ikatan perkawinan yang baru saja dialami. Terdapat beberapa
sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara dinamis
sebagai berikut;
a)
Perbedaan yang tidak terelakkan.
Dua orang adalah dua orang
dan secara esensial mereka berbeda. Mereka tidak akan pernah memiliki
perspektif yang sama. Pengalaman mereka berbeda, kebutuhan-kebutuhan mereka
berbeda dan nilai-nilai yang mereka anutpun akan memberikan pengaruh sudut
pandangnya dalam menghadapi permasalahan seperti pada ilustrsi berikut;
"Kami tidak bisa
berkomunikasi, Ia selalu secara keras menolak usul saya dan ia tidak pernah mau
mendengar apa yang saya sampaikan. Apabila ia berpendapat bahwa saya berada
pada tempat yang berbeda. Setiap pembicaraan kami berakhir dengan
pertengkaran."
Respon dari salah satu
pasangan tentang pasangannya membuat kehidupan bersama menjadi tidak
memperoleh toleransi dari kedua pasangan. Banyak individu berpikir bahwa
permasalahan yang ia hadapi dalam perkawinan lebih disebabkan oleh
kesalahan pasangannya dengan demikian terdapat satu cara pandang
permasalahan sebagai berikut.
"Bila saya
mengeluhkan kesedihan dan permasalahan padanya, saya merasa bahwa sayalah yang
terluka. Ia selalu mengatakan bahwa kalau saya ingin mengatasi masalah, saya
harus mulai dari diri saya sendiri. Ia selalu mengatakan bahwa kelakuannya
tidak terkait dengan kesedihan yang saya rasakan."
Cara lain untuk memandang
permasalahan sering ada dalam dua pasangan perkawinan. Karena pada
dasarnya tidak akan terjadi suatu perbedaan dalam cara pandang
permasalahan hanya oleh sebab salah satu pasangan, seperti pada contoh berikut:
"Karena suami saya
pernah mendapatkan pertolongan dari seorang psikiater,saya berpendapat bahwa
setiap permasalahan yang terjadi di antara kami disebabkan oleh dirinya padahal
permasalahan yang ia hadapi pada masa lalu disebabkan oleh perlakuan orang
tuanya sedangkan cara pandang saya terhadap masalah juga dipengaruhi oleh sikap
orang tua terhadap saya pada masa lalu saya dan yang pasti orang tua saya
berbeda dengan orang tuanya"
Seraya dua pasangan tidak
mampu menemukan persetujuan yang total, mereka juga harus mampu menerima
perbedaan-perbedaan esensial dari diri masing-masing dan berupaya untuk mencari
titik temu yang disepakati bersama.
b)
Perbedaan harapan
Konflik perkawinan dapat
berpijak pada perbedaan harapan antarpasangan. Tugas pertama adalah untuk
mengenali sejauh mana perbedaan harapan-harapan di antara kedua pasangan
tersebut, namun yang akan sulit dideteksi adalah harapan-harapan yang berada di
lapisan sadar dari masing-masing pasangan. Sementara itu pasangan mencoba untuk
menganalisis perbedaan model parental masing-masing pasangan dan menemukan
bahwa konflik personal yang mereka hadapi sering tidak terlampau berbeda latar
belakangnya apabila kedua pasangan mencoba menelusuri dan memahami model
parental masing-masing. Jika terjadi konflik yang terkait dengan perbedaan
parental model masing-masing, maka cara yang terbaik bagi kedua pasangan untuk
bisa mengatasi masalah tersebut baruakan diperoleh apabila permasalahan yang
mereka hadapi tidak divonis sebagai akibat dari kekurangan personal
antarpasangan melainkan lebih pada permasalahan karena apabila kedua pasangan
melihat perbedaan harapan di antara pasangan sebagai kekurangan personal dari
masing-masing pasangan maka tanpa disadari akan terbina suatu sikap defensif
yang justru akan menghambat penyelesaian persoalan.
"Ia selalu
mengatakan bahwa ia tidak percaya pada saya karena saya memang ia kenali
sebagai seseorang yang ragu dan sering tidak konsisten. Memang benar saya
terkadang besikap ambivalen namun yang saya tidak suka adalah bahwa sisi
negatif tersebut adalah merupakan keseluruhan pribadi saya."
c)
Kepekaan
Peningkatan dalam
keterlibatan afeksional akan membuat pasangan meningkatkan pula keterbukaan
dirinya. Pada mulanya sangat mudah seseorang untuk merasa puas dengan berbagi
perasaan namun bila sampai pada perasaan yang kritis, maka pasangan tersebut
akan menjadi sangat ketakutan. Sering terjadi reaksi negatif yang ditunjukkan
oleh salah satu individu dalam pasangan atau keduanya akan menyebabkan pasangan
tersebut merasa terancam, sehingga keterbukaan diri pada pasangan tidak
merupakan jaminan bagi terciptanya relasi yang intim.
"Makin saya tahu
banyak tentang kamu, semakin tidak suka saya padamu.".
Bersikap terbuka terhadap
pasangan menjadikan pasangan tersebut peka terhadap kritik, keputusan, dan
kemungkinan kekecewaan-kekecewaan terhadap pencapaian harapan-harapannya.
Selain itu, risiko untuk saling terbuka cenderung menciptakan permainan umum
yang meningkatkan sikap pertahanan diri dari tiap-tiap pasangan yang pada
awalnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pasangan agar tidak
tersinggung dan secara terselubung memanipulasi relasi antarpasangan. Dinamika
interaktif yang semacam ini pada suatu saat akan memunculkan konflik yang
intens karena melibatkan aspek alam bawah sadar dari salah satu atau kedua
pasangan, sehingga masalah privasi harus tetap menjadi privat, menjadi salah
satu faktor penentu apakah keterbukaan di antara tiap-tiap individu dalam
pasangan akan memperkuat makna keintiman relasi atau justru meningkatkan
kepekaan bagi munculnya konflik di antara pasangan.
d)
Keintiman dari perkawinan.
Orang akan menunjukkan
perilaku yang terbaik di muka umum. Di rumah mereka menampilkan diri
sebagaimana adanya. Kedok privasi dilepaskan dan seringkali hasilnya bisa saja
sangat tidak diinginkan karena 'jorok', 'kotor', dan bahkan bisa saja sangan
menjijikan. Hidup bersama orang lain sebagai pasangan perkawinan dalam satu
atap akan membuat pasangan menunjukkan sisi lain yang aslinya. Hal ini tentu
saja akan merupakan gangguan dari relasi yang sedianya dibentuk dari
aspek-aspek yang termanis dari kehidupannya, misalnya pada saat mereka masih
dalam relasi berpacaran. Keintiman relasi yang terjalin pada masa pacaran
dilakukan dengan upaya yang keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian.
Perilaku yang menjijikan yang akhirnya muncul dalam kehidupan bersama dalam
satu atap setelah menikah akan mengingatkan dan menghidupkan kembali kedua
pasangan akan kecemasan masa kanak-kanak yang diwarnai oleh hukuman-hukuman
yang diberikan orang tua manakala mereka menunjukkan perilaku 'jorok' dan
perilaku yang tidak dibenarkan dalam keluarga. Apabila perilaku negatif
tersebut muncul pada masa perkawinan apakah dari diri maupun dari pasangannya,
hal itu akan memunculkan ketakutan akan hukuman orang tua dan kehilangan kasih
orang tua yang sebenarnya sudah terlupakan.
e)
Aspek kumulatif dalam perkawinan.
Stres adalah kumulatif.
Ketegangan berkembang dengan kondisi iritasi yang berlanjut. Seorang anak dapat
toleran pada iritasi fisik untuk periode dan waktu yang terbatas, namun bila
tampilannya cukup lama dapat mengembangkan satu alergi. Bagitu pula halnya
dengan orang dewasa yang dapat mengatasi perilaku yang mengganggu untuk
beberapa jam atau beberapa hari. Tetapi bila perilaku yang mengganggu tersebut
secara berlanjut harus dihadapi akan membuat mereka menjadi alergi. Sangatlah
tidak menguntungkan apabila alergi-alergi yang muncul hanya diatasi dengan cara
simptomatis, karena jawaban yang sebenarnya dari reaksi alergi harus dicari
dari stres yang mendasari dan yang membuat orang tersebut membiarkan reaksi
yang berlebihan serta sangat terganggu oleh stress yang mendasarinya.
f)
Persaingan dalam perkawinan.
Kebencian dan persaingan
sangat familiar dalam kehidupan perkawinan pada setiap perkawinan yang terjadi.
Salah satu individu dalam pasangan mungkin saja cemburu oleh karena pasangannya
memberikan waktu yang berlebihan pada pekerjaan atau pada hubungan pasangannya
dengan salah satu anak mereka. Salah satu individu dalam pasangan bisa saja
benci pada sukses yang diperoleh pasangannya atau pada kemampuan pasangan untuk
menjalin hubungan pertemanan dengan mudah dan pasangan yang dengan nyaman bisa
berada dalam pesta-pesta. Mungkin saja salah satu individu dalam pasangan pun
bersaing dalam kecepatan bangun pagi. Mungkin saja salah satu individu dalam
pasangan khawatir untuk dinilai oleh pasangannya sebagai orang yang malas bila
bangun tidur setelah pasangannya bangun. Jadi menjadi manusia apakah sebagai
suami dan istri akan dihadapkan pada kompetisi untuk hal-hal tertentu, seperti
misalkan uang atau afeksi atau status yang bisa diperoleh pasangannya. Di dalam
masyarakat yang kompetitif, kebutuhan untuk menjadi pemenang sangat ditekankan
sehingga persaingan akan selalu mempengaruhi setiap manusia. Banyak pasangan
perkawinan bermain peran dalam situasi kompetitif yang bisa membuat pasangannya
tertekan. Seraya salah satu pasangan mengekspresikan kesedihan, seraya itu pula
sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa "Saya merasa tidak bahagia
hidup dengan kamu karena kamu kikir dan saya bisa membuktikan bahwa kamu
memang benar-benar kikir." Banyak pasangan melakukan transformasi
permainan dengan cara memberikan ganjaran pada pasangan pertama yang mampu
memecahkan jurang pemisah di antara mereka setelah satu pertengkaran. Ganjaran
tersebut diberikan oleh salah satu individu dalam pasangan untuk mendapatkan
keduanya merasakan kemenangan dalam persaingan.
g)
Perubahan-perubahan dalam perkawinan.
Walster dkk (1989)
menemukan kenyataan bahwa bila pasangan suami-istri berada dalam sistem
interelasi yang berubah dari hari ke hari, di mana salah satu individu dalam
pasangan merasa tidak diperlukan atau tidak dinginkan oleh pasangannya, maka
mereka akan rentan terhadap perselingkuhan di luar perkawinan. Tentu saja,
dalam kurun waktu yang lebih cepat daripada kemungkinan terjadinya
perselingkuhan daripada pasangan berada dalam relasi yang adil dan sejajar.
Selain itu, pasangan yang merasa tidak diperlukan atau tidak diinginkan oleh
pasangannya akan mengalami kesulitan dalam relasi seksualnya. Respons mereka
akan bersifat sadistik atau pasif-agresif. Untuk memahami konflik secara utuh,
kita perlu melihat 3 kategorisasi dari tipe konflik yang diungkapkan oleh
Scanzoni & Scanzoni (1988) sebagai berikut:
(1) Zero-Sum and
Motive Conflict.
Di dalam kontes
pertandingan banteng akan terjadi kekalahan baik pada pihak matador atau pada
pihak banteng—tidak bisa kalah semua. Konflik sosial bisa seperti tipe tersebut
yang biasanya disebut zero-sum.. Di dalam interaksi sosial, situasi makes
motive lebih sering terjadi dari pada tipe zero-sum. Di dalam
konflik makes motive, salah satu individu dalam pasangan mengharapkan
akan mendapatkan keuntungan lebih dari apa yang diberikan pasangannya tetapi
mereka tidak pernah berharap untuk menghabisi secara total pasangan lawannya.
Mereka lebih berminat untuk tetap bersama namun semaksimum mungkin memperoleh
keuntungan yang bisa mereka peroleh, untuk melanjutkan relasi mereka apabila
dimungkinkan.
(2) Personality
based and situational conflict.
Konflik perkawinan sering
berakar pada konflik situasional dan konflik atas dasar perbedaan kepribadian.
Seorang istri mungkin saja enggan melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus
anak karena pada masa lalu sebenarnya ia bercita-cita untuk menyelesaikan
sekolahnya sementara suami enggan diserahi tanggung jawab mengurus anak karena
ia merasa bahwa itu adalah tugas seorang istri. Sikap istri yang lebih suka
membaca dan menonton televisi dibandingkan dengan melakukan tugas rumah tangga
sebetulnya juga menunjukkan protes kepada suami yang baru menunjukkan kasih saying
kepada istri bila ia menginginkan hubungan seks. Dalam situasi ini, maka seharusnya
suami memahami kebutuhan afeksi istri dan memberikan afeksinya juga di luar
kebutuhan akan hubungan seksual dan atas dasar kepuasan istri yang memperoleh
afeksi yang cukup dari suami maka istri akan dengan sendirinya dengan senang
hati melakukan pekerjaan rumah tangga, untuk kemudian suami memberikan
kesempatan istri melanjutkan sekolahnya pada waktu yang tepat.
(3) Basic and
nonbasic conflict
Konflik kedua pasangan
dalam membeli mobil baru disebut konflik non-basic karena konflik
tersebut lebih terkait dengan perubahan situasional. Namun apabila konflik
tersebut berangkat dari perubahan-perubahan situasional, maka hal ini disebut basic
conflict. Jadi dalam setiap sistem sosial, basic conflict dapat
berarti ketidakstabilan atau bahkan kelumpuhan total. Sejauh mana basic
conflict bisa terjadi oleh kontribusi ekonomi di antara kedua pasangan
dapat diilustrasikan akhir masa hidup dari novelis Count Leo Tolstoy dan
istrinya Countess Tolstoy. Ny. Tolstoy tidak setuju bila suaminya membagikan
sebagian royalti dari novelnya kepada orang miskin karena di dalam pikiran
istri mengapa harus memberikan uang kepada orang lain sementara anak-anaknya
membutuhkan biaya yang banyak untuk pendidikan. Di dalam hal ini konsumsi dari
sumber daya untuk tetap hidup dan untuk status merupakan basic issue dalam
kehidupan perkawinan. Di samping itu, hilangnya oasis keintiman membuat
dinamika interelasi antarpasangan yang diwarnai oleh antara lain. Oasis
keintiman ditandai oleh beberapa indikator sebagai berikut:
~Suami dan istri
keduanya merasa kesepian. Mereka merasa sendiri dengan problema-problema
mereka, merasa tidak dipahami dan merasa tidak mampu menjelaskan apa yang mereka
inginkan untuk mendapatkan simpati.
~Kedua
pasangan merasa ditolak sehingga merasa tidak diinginkan dan tidak aman.
~Mereka menderita
oleh kekurangan komunikasi. Mereka tidak mampu berbicara dengan manis
tentang problem-problem mereka dan tidak mampu menghadapi problem-problem
bersama.
~Mereka mengalami kehilangan perspektif.
Mereka telah melupakan semua hal yang pernah
pada suatu saat membuat mereka menyukai satu sama lain, mereka juga melupakan
hal-hal apa yang membuat mereka pernah bisa merasa senang bersama dan
memberikan kenikmatan bersama itu. Mereka juga kehilangan keceriaan dan
optimisme. Mereka merasa tidak berdaya dan tidak memiliki harapan akan masa
depan. Jadi, mereka gagal untuk kembali kepada oasis dari keintiman yang mereka
harapkan sebelumnya. Komunikasinya tidak dalam dan tidak dilandasi oleh
perasaan dan pikiran yang mendalam. Mereka juga tidak mampu mengungkapkan
perasaannya dan tidak mampu bergandengan tangan dengan dekat sebagai teman
terpercaya, mereka tidak menemukan rasa aman yang tulus, simpati dan support
yang dibutuhkan setiap orang dan dijanjikan oleh apa yang diharapkan dalam
suatu
perkawinan. Mereka merasa
asing satu sama lain bahkan bisa saja bermusuhan satu sama lain. Konflik
perkawinan dilandasi oleh konsekuensinya terhadap relasi pasangan perkawinan, karena
ada dua jenis konflik sbb:
a)
Konflik yang Menguntungkan.
Karena konflik tidak dapat
dielakan maka muncul issue bukan bagaimana menghindari konflik namun
bagaimana menyelesaikan konflik. Para pakar ilmu social setuju bahwa konflik
justru sering memperkuat ikatan relasi sosial dan membuat ikatan tersebut
semakin mengandung ganjaran yang diharapkan. Apabila konflik dapat diatasi
dengan cara yang memuaskan maka akan dengan sendirinya menghindari terjadinya
hukuman. Hasil akhir dari konflik dapat secara maksimum memberikan keuntungan
yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Sikap oposisi adalah kekuatan
regeneratif yang mengintroyeksikan vitalitas baru ke dalam struktur.
Tawar-menawar baru yang berkembang dari konflik sama artinya dengan beberapa
aspek dari relasi total yang dapat direvisi, diubah, dan dibuat lebih bernilai daripada
menolak konflik serta menolak kemungkinan untuk mencari jalan keluar. Proses
regeneratif ini tidak hanya dapat dilihat dari prospektif mikro seperti
suamiistri tetapi juga dapat melihat dalam level makro di mana bangsa terdiri
dari berbagai kelompok yang saling berhubungan, misalnya antara buruh dan
manajer.
b) Konflik yang menghancurkan
Konflik—baik kelompok
masyarakat maupun unit sosial terkecil, seperti halnya pasangan
suami-istri—dapat meningkatkan kohesifitasnya, namun tidak tertutup kemungkinan
bahwa konflik akan justru menghancurkan hubungan di antara anggota masyarakat
bahkan pasangan suami-istri. Apabila suami dan istri mencoba untuk mengatasi
konflik dengan secara berlanjut memperkuat kekuasaan yang tidak diakui merasa
dieksploitasi, merasa tidak puas, dan tidak dipercaya maka konflik tersebut
akan diakhiri dengan hancurnya hubungan pasangan suamiistri.
Istri yang merasa kurang
mendapatkan dukungan finansial dalam kelangsungan hidup perkawinan akan
memandang upaya suami untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai kekuasaan yang
tidak diakui. Konflik yang berkembang dari situasi tersebut akan mengarah pada
keadaan fatal.
IV. PENYELESAIAN KONFLIK PERKAWINAN
Ada 5 gaya penyelesaian
konflik perkawinan;
(1)
Gaya Kompetitif.
Orang yang menggunakan
gaya kompetitif cenderung untuk menyelesaikan masalah dengan cara agresif dan
tidak kooperatif, memaksakan kehendak diri, kalau perlu mengorbankan
kepentingan orang lain. Kekuasaannya diperoleh dari konfrontasi langsung dan
dengan mencoba mendapat kemenangan tanpa menyesuaikan tujuan dan hasratnya dalam
rentang tujuan dan hasrat orang lain. Kehidupan adalah peperangan bagi orang
yang competitive. Ungkapan yang sering muncul daripadanya adalah sebagai
berikut;
“Pada saat saya
terlibat dengan diskusi yang memanas, saya mendapat kesulitan untuk
berhenti“ dan “saya menyukai eksitasi emosi yang terjadi dalam
pertengkaran sengit“ (Wilmot & Hocker, 1998). Orang yang kompetitif
mengalami kesulitan untuk menjalin relasi intim.
(2)
Gaya kolaburatif.
Orang yang menggunakan
gaya kolaburatif adalah seseorang yang kecenderungan asertifnya cukup tinggi
dalam meraih apa yang diinginkan, namun pertimbangan terhadap orang lain juga
cukup besar. Seorang kolaborator akan mengungkapkan pertanyaan sebagai berikut;
“Bila saya menghadapi konflik dengan orang lain, maka saya akan berusaha
secara kreatif dengan orang tersebut untuk mendapatkan pilihan keputusan
baru “ atau “ Saya suka membuka diri saya dan saya juga suka
bekerja sama dengan orang-orang lain”.
Orang yang suka bekerja
sama cenderung mudah untuk merasa jenuh dalam relasi dengan orang lain karena
terlalu banyak melakukan investasi energi dalam memecahkan masalah. Masalah
lain yang ada dalam seorang kolaborator adalah bahwa kolaborator yang baik
sangat berkuasa dan sering mereka memanipulasi orang lain dengan kekuatan dan
kekuasaan mereka tersebut.
(3)
Gaya kompromistis.
Orang yang kompromistis
adalah orang yang menjadi penengah seperti yang dapat diidentifikasi dengan
pernyataan di bawah ini.
“Kamu harus puas dengan
sebagian potongan kue” atau “Bila terjadi ketidaksetujuan, maka kamu
harus saling memberi sedikit “
(4)
Gaya Hindar.
Perilaku tidak asertif dan
perilaku pasif merupakan karakteristik dari Gaya hindar, orang tipe ini sama
sekali tidak mempertimbangkan kebutuhannya sendri dan juga kebutuhan orang
lain. Mereka menyampingkan masalah dengan mengubah subjek permasalahan atau
melarikan diri dari konflik. Gaya hinder justru sering membuat konflik menjadi
lebih mendalam.
(5)
Gaya akomodatif.
Perilaku tidak asertif
tetapi perilaku kooperatif merupakan karakteristik dari gaya akomodatif. Orang
tipe ini memberikan respons terhadap konflik dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan, yaitu demi keuntungan kedua belah pihak Tidak satu pun
cara pemecahan konflik tersebut di atas secara otomatis lebih baik dari yang
lain. Setiap gaya memiliki keuntungan dan kerugian dalam lingkup tertentu dan
di antara orang-orang yang berbeda. Jelasnya tidak ada cara yang sederhana dan
mudah untuk mengatasi konflik manusiawi. Setiap situasi harus didekati dengan
penuh pertimbangan dan pemikiran yang matang. Orang yang berada dalam konflik
harus mempertimbangkan berbagai faktor termasuk aspek kepribadian dari
orang-orang yang terlibat konflik, manfaat-manfaat dari argumentasi dan taraf investment
yang harus dilakukan untuk membuat relasi tetap berlangsung.
Timbul pertanyaan
bagaimanakah karakteristik perkawinan yang sukses ?
V. KARAKTERISTIK KUALITAS PERKAWINAN YANG SUKSES
SEBAGAI BERIKUT:
1. Komitmen yang terjaga
2. Kejujuran,kesetiaan, kepercayaan,
3. Rasa tanggungjawab,
4. Kesediaan untuk menyesuaikan diri,
5. Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek
perkawinan termasuk kehidupan seksual,
6. Mempertimbangkan keinginan
pasangan,
7. Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan
saling menghormati (respek) antar pasangan,
8. Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta
kasih penuh afeksi,
9. Pertemanan yang nyaman antar pasangan,
10. Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi
dalam kebersamaan,
11. Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan
perkawinan dan keturunannya. Sekian.
DAFTAR PUSTAKA :
BLOOD, Bob & Margareth. 1978. Marriage. NY
: The Free Press.
SADARJOEN, Sawitri S. 1982. Kumpulan Makalah Aneka
Deviasi Seksual.
Bandung
: Biro Psikologi Psikodinamika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar